Senin, 30 Maret 2009

ISLAM PADA MASA KHULAFAUR RASYIDUN

1. KONDISI MASYARAKAT ARAB PASCA MUHAMMAD

Telah banyak masa-masa sulit yang dijalani nabi Muhammad selama menjalankan tugasnya sebagai seorang rasul. Perjuangannya yang begitu sulit mampu memberikan kontribusi terhadap kesadaran para pengikutnya untuk melanjutkan tampuk kepemimpinan. Sepeninggal nabi Muhammad, dengan sendirinya muncul beberapa nama yang dianggap mampu melanjutkan kepemimpinannya. Di antaranya:
a. Abu Bakar al-Siddiq (11-13 H./632-634 M.)
b. Umar Ibn al-Khattab (13-23 H./634-644 M.)
c. Utsman Ibn Affan (23-35 H./644-656 M.)
d. Ali Ibn Abi Thalib (35-40 H./656-661 M.)
Masa pemerintahan merekalah yang dikenal dengan Khulafaur Rasidun.
Walaupun masa khulafaur rasyidun hanya berlangsung selama 30 tahun—sebagaimana hasil statistika di atas—, banyak hal yang telah mereka kerjakan. Baik dalam menata struktur masyarakat, pemerintahan, perluasan wilayah, dan mengatasi konflik internal negeri. Khalifah Abu Bakar misalnya, ia telah menyelamatkan umat islam dari perpecahan. Kemudian khalifah Umar, ia mampu mengubah bangsa arab yang semula hanya anak gurun pasir menjadi para pejuang sejati. Tidak hanya itu, ia juga berhasil mengkonsolidasikan umat islam di tanah Arab. Khalifah Utsman Ibn Affan sukses dalam perluasan wilayah—melanjutkan khalifah Umar yang menghancurkan kekaisaran Persia dan Byzantium, serta membangun imperium yang begitu kuat mulai dari Persia, Irak, Kaldea, Syiria, Palestina, dan Mesir—sampai daratan Asia Tengah dan Tripoli. Satu hal yang patut di syukuri pada masa pemerintahan Utsman yaitu pertama kalinya dibentuk angkatan laut Arab. Terakhir masa khalifah Ali yang berusaha mengatasi perpecahan dan perselisihan dalam negeri.


2. SISTEM PEMERINTAHAN

Musyawarah, satu hal yang diajarkan Rasulullah dalan tatanan masyarakat sosial sebagaimana ajran islam sendiri yang termaktub dalam al-Quran. Yang pertama kali muncul dalam kancah perpolitikan bangsa Arab sepeninggal Rasulullah adalah siapa yang berhak dan pantas menggantikan kepemimpinannya yang membawahi dua aspek (negara dan agama) tersebut. Sistem pemilihan seperti ini akan terbukti setiap kali pergantian pemimpin mulai dari Abu Bakar hingga Ali.
Pemilihan khulafaur rasyidun yang pertama berlangsung secara demokratis dengan menyelenggarakan muktamar Tsaqifah bani Sa'idah. Pada musyawarah tersebut terjadi perdebatan sengit di antara untusan-utusan yang hadir. Ahlul bait mengajukan nama Ali Ibn Abi Thalib atas dasar kedudukannya dalam islam. Kaum Muhajirin mengajukan calon Abu ubaidah Ibn Jarrah atas dasar kesetiaannya. Ari kalangan Anshar muncul nama Sa'ad Ibn Ubadah dengan alasan besarnya jasa yang diberikan demi Islam. Musyawarah tersebut berlangsung dengan adu argumentasi dan hampir diwarnai dengan adu fisik. Meskipun begitu akhirnya Abu Bakar disepakati untuk menjadi khalifah yang pertama.
Pada saat Abu Bakar sakit keras dan juga merasa ajal sudah kian dekat, ia melihat situasi negara masih dalam keadaan stabil dan pasukan yang sedang bertempur juga tidak boleh sampai terpecah belah setelah kematiaanya. Oleh karenanya, ia minta pendapat dan persetujuan terhadap kaum muslimin ketika merekomendasikan Umar untuk menjadi penggantinya kelak. Permintaan tersebut akhirnya dikabulkan dan setelah Abu Bakar meninggal, Umar maju sebagai khalifah yang kedua tanpa perpecahan.
Berbeda dengan Abu Bakar, ketika menjelang ajal, Umar mengajukan enam orang yang akan ditunjuk untuk menentukan siapa yang akan menjadi penggantinya. Nama enam calon tersebut kelak disebut Ahl al-Hall wa al-'Aqd pertama dalam Islam oleh sejarawan Islam. Agar tidak terjadi draw (suara sama), maka puteranya—Abdullah Ibn Umar—diminta untuk ikut bermusyawarah dengan syarat tidak boleh dipilih. Dalam musyawarah tersebut Utsman mendapat suara terbanyak. Selisih satu suara dengan Ali yang mendapat suara 3 orang.
Pada masa menjelang akhir hayatnya, pemerintahan Utsman banyak sekali pemberontakan sampai ia sendiri terbunuh. Ketika itulah Ali naik menjadi khalifah keempat. Masa di mana terjadi berbagai macam kericuhan dan huru-hara mulai dari semakin banyaknya pemberontak hingga efek dari terbunuhnya Utsman sebagai khalifah ketiga. Tidak hanya itu, terpilihnya Ali sendiri juga menjadi perselisihan yang akhirnya menimbulkan perpecahan yang sangat besar. Ia menaiki jabatan sebagai khalifah keempat atas desakan kaum kuslimin madinah yang khawatir jika tidak cepat menunjuk seorang pemimpin, maka akan semakin kacau kondisi kaum muslimin pada saat itu. Meskipun ada golongan yang tidak menyukai Ali—seperti kubu Aisyah(isteri nabi)—, tetapi tidak orang yang mau menjadi khalifah karena Ali masih ada dan dia adalah bintangya Bani Hasyim.


3. KEBIJAKAN-KEBIJAKAN

 Memerangi kaum riddah (murtad)
 Pengelolaan kas negara
 Penataan birokrasi pemerintahan
 Pemberlakuan ijtihad
 Perluasan wilayah dan pengelolaannya

ISLAM DAN RELIGIONOMIC

إياكم والغلو، فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو

“Jauhilah oleh kalian sikap berlebih-lebihan, karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian”

(HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas ra.).

Dalam ٍٍShoheh Muslim, Ibnu Mas’ud ra. berkata: bahwa Rasululloh saw. bersabda:

هلك المتنطعون ” قالها ثلاثا.

Binasalah orang-orang yang bersikap berlebih-lebihan” (diulanginya ucapan itu tiga kali).[1]

1. Komersialisasi Agama

Sering kita jumpai para Muballigh yang diundang ke berbagai tempat untuk memberikan ceramah agama dengan tema-tema tertentu. Meski tidak banyak apa yang mereka sampaikan ketika ceramah, tetapi hal itu dipercaya mampu memberikan motivasi tersendiri. Satu hal yang menarik, setiap kali diadakan acara ceramah agama, panitia acara harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk keperluan akomodasi dan lain sebagainya termasuk honorarium Muballigh.

Dengan berkembangnya kemajuan teknologi dan informasi, kegiatan-kegiatan tersebut menjadi semakin berkurang. Contoh, media informasi dan komunikasi, sekarang sudah mulai ikut memberikan kontribusi dalam menyampaikan ceramah-ceramah agama meski tidak seratus persen menggantikannya. Sering kita jumpai pula iklan-iklan televisi yang mensosialisasikan program-program seperti ketik REG>SHALAT.............(dan seterusnya).

Selain yang tersebut di atas, harga bahan makanan—mulai dari cabe, bawang, beras dan seterusnya—naik 25-50% ketika menjelang hari raya dan bulan maulid. Harga hewan-hewan qurban melangit ketika menjelang hari raya 'idzul adha. Lucunya, setelah semuanya usai, harga-harga barang tersebut kembali normal. Serta masih banyak lagi kasus-kasus serupa yang dapat kita selidiki.

Di satu sisi, semua kasus di atas mempunyai nilai positif. Akan tetapi di sisi lain terdapat pula sisi negatifnya. Secara implisit, kasus-kasus di atas dapat dikategorikan sebuah upaya membuat agama sebagaai komoditi perdagangan. Komersialisasi agama tersebut, terjadi dengan tanpa kita sadari.

2. Merusak Agama

Sebuah pendapat menyebutkan bahwa salah satu tindakan yang bisa merusak agama adalah jika telah muncul suatu bentuk sikap berlebih-lebihan. Hal ini diperkuat dengan hadits nabi yang tersebut di atas. Bahkan akibat yang bisa muncul lebih dari rusaknya sebuah agama, namun sampai kebinasaan subuah umat; sebuah peradaban manusia.

Agama adalah kepercayaan orang, seperti yang diberitakan dalam Undang-Undang Dasar Indonesia pasal 29 ayat 1. Orang yang beragama juga diharuskan untuk membela agamanya. Seperti yang sering dilakukan oleh banyak orang. Namun selama ini, penerapannya justru kurang tepat.

Di Indonesia ini kepercayaan diterima dalam berbagai macam bentuk, Islam dan Kristen adalah salah satunya. Dengan pengikutnya yang besar, seharusnya mereka diwajibkan untuk hidup bersama dalam tolong-menolong.[2]

Selasa, 17 Maret 2009

BUDAYA ADALAH AKU

Malam minggu di akhir bulan yang lalu, aku diajak nonton sebuah pementasan budaya di kampus UIN SU-KA. Ketika itu masih sekitar pukul 18:00. Temanku ngotot untuk berangkat ketika itu juga padahal aku tahu bahwa acaranya baru akan dimulai pada 19:00. Itu pun belum lagi molornya, dan paling-paling acara itu baru akan mulai sekitar jam 20:00-21:00. Karena temanku tadi masih saja mendesak, terpaksa aku turuti kemauannya. Kuantar dia ke mana tempat diselenggarakannya acara tersebut. Masih di luar pagar dan belum lagi masuk ke halaman kampus, sudah tampak bahwa acaranya belum dimulail. Sudah kubilang, acaranya belum dimulai. Batinku. Kemudian kutanyakan pada temanku apa yang selanjutnya kami lakukan. Ia mengusulkan untuk untuk pulang saja dulu. Usul yang bagus pikirku, andaikan ia mengusulkan yang lain pasti kutolak.
Perut sudah melilit sedari tadi karena memang belum sarapan dari paginya. Ku ajak temanku sarapan malam, ia bilang sudah kenyang. Baru makan katanya lagi.
###
Kelompok minoritas, jika ngomong tentang budaya, lumrahnya selalu lari pada kesenian-kesenian tradisional dan tradisi apa yang pernah dilakukan para moyangnya. Di satu sisi, mereka tidak salah meski ada banyak jalan yang bisa ditempuh untuk menyalahkannya. Sebenarnya tak penting untuk mempersoalkan hal-hal semacam itu. Dan bagi penulis sendiri—dalam hal budaya—hanya manfaat apa yang bisa kita pelajari dari budaya-budaya yang pernah ada. Yaitu hanya untuk mengidentifikasi siapa diri kita ini; mengatakan inilah saya. Saya adalah orang Jawa, saya adalah orang Madura, sayalah orang Sumatera, Kalimantan, ………saya adalah orang Indonesia.
Budaya merupaka suatu bentuk kegiatan dan gaya hidup sebagai hasil dari kesepakatan satu generasi dan daerah. Orang-orang Madura mengatakan dirinya adalah Madura karena ia sepakat terhadap tradisi-tradisi Madura. Begitu juga yang lainnya. Dengan kata lain subuah kebudayaan adalah tradisi yang sewaktu-waktu dapat berubah, baik secara total maupun hanya sebagian saja.
Pada dasarnya kebudayaan mempunyai peranan dan pengaruh yang luar biasa terhadap sebuah tatanan masyarakat. Oleh karenanya, kebudayaan bisa dijadikan tolak ukur bagi kesejahteraan, keberdayaan, kemakmuran, dan bahkan kemerosotan kondisi social masyarakat. Dari aspek apapun itu. Suatu kebijakan politik pasti mempengaruhi terhadap kebudayaan yang ada dan mau atau tidak, suatu tatanan masyarakat akan turut berubah. Kemudian akan merambah terhadap perekonomian yang tidak akan lepas dari kehidupan masyarakat itu sendiri. Karena factor-faktor tersebut selalu berhubungan secara dialektis.
###
Setelah makan, kami ngobrol banyak hal dan obrolan itu sama sekali tidak mutu. Kami hanya rasan-rasan dan rasan-rasan. Tepat pukul 19:00 kami berangkat lagi. Kami kecewa karena acara bulum juga di mulai. Pengunjung belum ada yang datang, pentas masih dalam tahap penataan, dan akhirnya kami memilih untuk mencari tempat duduk. Setengah jam kemudian, mulai terdengar musik-musik pop dan rock yang ditampilkan bibit-bibit baru. Bisa dikatakan mereka adalah salah satu dari generasi yang mau mencitrakan dirinya; menunjukkan pada khalayak bahwa mereka adalah anak-anak Indonesia. Dan musik beserta atribut lainnya adalah cara sekaligus gaya hidup mereka.
Tak lama kemudian, pengunjung semakin banyak berdatangan. Susul-menyusul yang tentunya dengan kepentingan masing-masing. Ada di antara mereka yang datang dengan pasangan masing-masing. Ada pula yang datang dengan berkelompok. Sepertinya mereka adalah anak-anak yang masih jomblo. “Aku…!” adalah salah satu di antaranya. Di sebelah tempat nongkrongku, ada cewek-cewek yang sepertinya belum punya pasangan. Jelas mereka adalah anak-anak UIN sendiri. Tampang dan cara berpakaian mereka tidak terlalu asing. “mereka tampak seperti anak-anak yang baru melihat dunia.” Komentar temanku. Kujawab komentar itu dengan senyum saja. Aku tahu apa maksud dari kata-katanya. Ia pun melanjutkan “mungkin mereka adalah alumni-alumni pesantren atau anak-anak dari kalangan keluarga yang disiplin yang sekarang merasa menemukan kebebasan.” Sekali lagi aku hanya senyum dan kutambahkan sedikit anggukan kepala. Malam semakin larut, beberapa group sanggar yang dijadwalkan mentas tak kunjung tampil.
###
Jika kita lihat kondisi social masyarakat saat ini, kita akan menemukan begitu banyak konstruksi tradisi dan bahkan dekonstruksi tradisi yang telah menenggelamkan identitas para pendahulu. Generasi saat ini mencoba menampilkan dirinya sebagai dirinya sendiri (self), bukan moyangnya (others). Akan tetapi, dari mana dan mengapa mereka lebih memilih untuk berbeda dengan moyangnya adalah persoalan lain. Yang penting saat ini ternyata ada semacam transisi dari budaya lama (generasi sebelumnya) ke budaya baru (yang entah mengadopsi dari mana).
Meskipun kebudayaan adalah salah satu penentu terhadap kondisi social masyarakat—sebagaimana diuriakan di atas—, tetapi tidak serta merta ia menjadi kambing hitam jika kondisi sosialnya menjadi amburadul. Justru masyarakatnyalah—sebagai pelaku—yang harus menjawab, seberapa baik mereka dalam mengkonstruk budaya tersebut. Dalam hal ini budaya hanya menjadi media yang mewakili identitas, citra dan gaya hidup (live style) masyarakatnya; budaya adalah nilai yang terkandung dalam sebuah masyarakat.
###
Dengan penantian yang begitu lama, akhirnya tampil juga sanggar yang dijanjikan. Merekalah yang mewakili budaya-budaya lama. Sayangnya, dalam pementasansanggar tersebut hanya dalam durasi yang begitu singkat. Setelah itu kembali ditampilakan tawaran budaya-budaya baru yang memang tidak salah jika dikatakan cikal-bakal budaya generasi saat ini.
Sekali lagi temanku berkomentar. “tampaknya budaya-budaya seperti inilah yang akan mengidentifikasi generasi kita; yang akan menjelaskan siapa kita kelak.”

Tulisan ini telah diterbitkan di Buletin Bejads Rasan-Rasan edisi I