Jumat, 04 September 2009

PENERAPAN ZAKAT PRODUKTIF*

Zakat merupakan media yang diyakini mampu memberikan jaminan pahala bagi para ‘Abdun setelah menjalankan ibadah puasa di buan ramadlan. Adapun jumlah dan waktunya, telah ditentukan dalam syariat. Demikian pula cara pendistribusiannya. Bahwa pada suatu waktu dan tempat, seseorang dapat dikenai kewajiban untuk membayarnya. Sebaliknya, dengan waktu dan tempat yang sama, seseorang berada pada posisi yang wajib atau yang berhak menerima hasil distribusi zakat tersebut.
Seseorang yang wajib membayar zakat (fitrah dan mal) adalah mereka yang memenuhi kriteria-kriteria tertentu, sebut saja orang-orang yang tidak dalam kategori delapan golongan; bukan dari golongan fakir, tidak sedang dalam keadaan miskin, tidak termasuk dalam jajaran panitia penerimaan zakat, dan seterusnya. Singkatnya, adapun orang wajib membayar zakat adalah orang-orang yang berada dalam kondisi mampu. Oleh karenanya, apapun konsekuensi yang bakal mereka peroleh, kesiapan lahir dan batin tentunya telah menjadi modal terpenting.
Syariat, baik secara ijmaly atau pun tafshily, dalam menjelaskan zakat (dan hal-hal yang berkaitan dengannya sebagaimana disinggung sebelumnya), cenderung lebih mengeksplorasi pada wilayah mengapa, jenis, bentuk, ukuran, waktu, dan kepada siapa zakat-zakat tersebut harus didistribusikan. Sedangkan pada wilayah ”siapa” yang harus membayar, dicukupkan pada pembahasan tentang kepada siapa zakat-zakat tersebut harus dibagikan. Menurut hemat penulis, penjelasan-penjelasan yang diuraikan dalam banyak literatur klasik (seperti abstraksi-abstraksi di atas) sudah cukup luar biasa.
Sampai di sini, ternyata mulai muncul kejadian-kejadian unik seputar distribusi zakat bersamaan dengan konstruk sosial yang terjadi di negeri tercinta ini, Indonesia. Yang paling menonjol adalah berita-berita dari media massa yang mengabarkan adanya distribusi zakat yang tidak kondusif. Banyak daerah yang dalam proses pendistribusian zakatnya menggambarkan situasi yang bertentangan dengan tujuan dasar keharusan akan adanya zakat. Antrian panjang, saling berebut, kemudian terjadi sedikit konflik, dan akhirnya lahir data statistik tentang jumlah korban.

USHUL FIQH MENJAWAB PERSOALAN

Adanya wajib zakat tidak berangkat dari ruang kosong. Zakat merupakan salah satu cara untuk menetralisir kondisi psikologis setiap orang. Suatu cara untuk mengafirmasikan bahwa sebagai sesama manusia, kita mempunyai hak dan kewajiban yang sama (meskipun cara,wilayah, dan bentuknya relatif berbeda). Gambaran yang paling jelas adalah suatu upaya mempersamakan rasa pada setiap individu.
Menanggapi berbagai macam persoalan yang kerap kali terjadi pada masarakat (khususnya yang termasuk golongan delapan) yang pada kenyataannya mereka justru mendapatkan hal yang sangat bertolak belakang dengan tujuan zakat itu sendiri, penulis menawarkan sebuah model distribusi zakat yang dapat mengembalikan tujuan substansial dari zakat. ”Zakat Produktif” yakni zakat yang dikumpulkan oleh badan enerima zakat atau amil untuk dibagikan kepada para Mustahiq. Memang pada prosesnya, perolehan zakat tersebut tidak dapat dirasakan langsung. Akan tetapi, menurut hemat penulis, dari pada zakat tersebut hanya berhenti pada kepuasan sesaat. Akan menjadi lebih baik jika zakat tersebut bisa dinikmati dengan durasi yang lebih lama. Toh nantinaya, distribusi tersebut bisa lebih merata.
Dalam hal ini, hubungan secara struktural dalam bermasyarakat memang sangat dibutuhkan. Diasumsikan nantinya dari pihak yang berwenang (baca: pemerintah atau seorang imam yang menjadi panutan) dapat memediasi jalannya proses tersebut. Banyak hal sebenarnya jika kita mau peka dalam proses pembentukan pemberdayaan terhadap masyarakat.
Dasar pijakan hukumnya:
"تصرف الامام على الروعية منوط بالمصلحة"

*tema ini pernah diangkat Gus Adib dalam tulisannya yang dimuat di Jurnal Amanah edisi 2