Selasa, 17 Maret 2009

BUDAYA ADALAH AKU

Malam minggu di akhir bulan yang lalu, aku diajak nonton sebuah pementasan budaya di kampus UIN SU-KA. Ketika itu masih sekitar pukul 18:00. Temanku ngotot untuk berangkat ketika itu juga padahal aku tahu bahwa acaranya baru akan dimulai pada 19:00. Itu pun belum lagi molornya, dan paling-paling acara itu baru akan mulai sekitar jam 20:00-21:00. Karena temanku tadi masih saja mendesak, terpaksa aku turuti kemauannya. Kuantar dia ke mana tempat diselenggarakannya acara tersebut. Masih di luar pagar dan belum lagi masuk ke halaman kampus, sudah tampak bahwa acaranya belum dimulail. Sudah kubilang, acaranya belum dimulai. Batinku. Kemudian kutanyakan pada temanku apa yang selanjutnya kami lakukan. Ia mengusulkan untuk untuk pulang saja dulu. Usul yang bagus pikirku, andaikan ia mengusulkan yang lain pasti kutolak.
Perut sudah melilit sedari tadi karena memang belum sarapan dari paginya. Ku ajak temanku sarapan malam, ia bilang sudah kenyang. Baru makan katanya lagi.
###
Kelompok minoritas, jika ngomong tentang budaya, lumrahnya selalu lari pada kesenian-kesenian tradisional dan tradisi apa yang pernah dilakukan para moyangnya. Di satu sisi, mereka tidak salah meski ada banyak jalan yang bisa ditempuh untuk menyalahkannya. Sebenarnya tak penting untuk mempersoalkan hal-hal semacam itu. Dan bagi penulis sendiri—dalam hal budaya—hanya manfaat apa yang bisa kita pelajari dari budaya-budaya yang pernah ada. Yaitu hanya untuk mengidentifikasi siapa diri kita ini; mengatakan inilah saya. Saya adalah orang Jawa, saya adalah orang Madura, sayalah orang Sumatera, Kalimantan, ………saya adalah orang Indonesia.
Budaya merupaka suatu bentuk kegiatan dan gaya hidup sebagai hasil dari kesepakatan satu generasi dan daerah. Orang-orang Madura mengatakan dirinya adalah Madura karena ia sepakat terhadap tradisi-tradisi Madura. Begitu juga yang lainnya. Dengan kata lain subuah kebudayaan adalah tradisi yang sewaktu-waktu dapat berubah, baik secara total maupun hanya sebagian saja.
Pada dasarnya kebudayaan mempunyai peranan dan pengaruh yang luar biasa terhadap sebuah tatanan masyarakat. Oleh karenanya, kebudayaan bisa dijadikan tolak ukur bagi kesejahteraan, keberdayaan, kemakmuran, dan bahkan kemerosotan kondisi social masyarakat. Dari aspek apapun itu. Suatu kebijakan politik pasti mempengaruhi terhadap kebudayaan yang ada dan mau atau tidak, suatu tatanan masyarakat akan turut berubah. Kemudian akan merambah terhadap perekonomian yang tidak akan lepas dari kehidupan masyarakat itu sendiri. Karena factor-faktor tersebut selalu berhubungan secara dialektis.
###
Setelah makan, kami ngobrol banyak hal dan obrolan itu sama sekali tidak mutu. Kami hanya rasan-rasan dan rasan-rasan. Tepat pukul 19:00 kami berangkat lagi. Kami kecewa karena acara bulum juga di mulai. Pengunjung belum ada yang datang, pentas masih dalam tahap penataan, dan akhirnya kami memilih untuk mencari tempat duduk. Setengah jam kemudian, mulai terdengar musik-musik pop dan rock yang ditampilkan bibit-bibit baru. Bisa dikatakan mereka adalah salah satu dari generasi yang mau mencitrakan dirinya; menunjukkan pada khalayak bahwa mereka adalah anak-anak Indonesia. Dan musik beserta atribut lainnya adalah cara sekaligus gaya hidup mereka.
Tak lama kemudian, pengunjung semakin banyak berdatangan. Susul-menyusul yang tentunya dengan kepentingan masing-masing. Ada di antara mereka yang datang dengan pasangan masing-masing. Ada pula yang datang dengan berkelompok. Sepertinya mereka adalah anak-anak yang masih jomblo. “Aku…!” adalah salah satu di antaranya. Di sebelah tempat nongkrongku, ada cewek-cewek yang sepertinya belum punya pasangan. Jelas mereka adalah anak-anak UIN sendiri. Tampang dan cara berpakaian mereka tidak terlalu asing. “mereka tampak seperti anak-anak yang baru melihat dunia.” Komentar temanku. Kujawab komentar itu dengan senyum saja. Aku tahu apa maksud dari kata-katanya. Ia pun melanjutkan “mungkin mereka adalah alumni-alumni pesantren atau anak-anak dari kalangan keluarga yang disiplin yang sekarang merasa menemukan kebebasan.” Sekali lagi aku hanya senyum dan kutambahkan sedikit anggukan kepala. Malam semakin larut, beberapa group sanggar yang dijadwalkan mentas tak kunjung tampil.
###
Jika kita lihat kondisi social masyarakat saat ini, kita akan menemukan begitu banyak konstruksi tradisi dan bahkan dekonstruksi tradisi yang telah menenggelamkan identitas para pendahulu. Generasi saat ini mencoba menampilkan dirinya sebagai dirinya sendiri (self), bukan moyangnya (others). Akan tetapi, dari mana dan mengapa mereka lebih memilih untuk berbeda dengan moyangnya adalah persoalan lain. Yang penting saat ini ternyata ada semacam transisi dari budaya lama (generasi sebelumnya) ke budaya baru (yang entah mengadopsi dari mana).
Meskipun kebudayaan adalah salah satu penentu terhadap kondisi social masyarakat—sebagaimana diuriakan di atas—, tetapi tidak serta merta ia menjadi kambing hitam jika kondisi sosialnya menjadi amburadul. Justru masyarakatnyalah—sebagai pelaku—yang harus menjawab, seberapa baik mereka dalam mengkonstruk budaya tersebut. Dalam hal ini budaya hanya menjadi media yang mewakili identitas, citra dan gaya hidup (live style) masyarakatnya; budaya adalah nilai yang terkandung dalam sebuah masyarakat.
###
Dengan penantian yang begitu lama, akhirnya tampil juga sanggar yang dijanjikan. Merekalah yang mewakili budaya-budaya lama. Sayangnya, dalam pementasansanggar tersebut hanya dalam durasi yang begitu singkat. Setelah itu kembali ditampilakan tawaran budaya-budaya baru yang memang tidak salah jika dikatakan cikal-bakal budaya generasi saat ini.
Sekali lagi temanku berkomentar. “tampaknya budaya-budaya seperti inilah yang akan mengidentifikasi generasi kita; yang akan menjelaskan siapa kita kelak.”

Tulisan ini telah diterbitkan di Buletin Bejads Rasan-Rasan edisi I

Tidak ada komentar: